Advertisement
Belajar dan NgeBlog - Tausiah dari habib seif Alwiy ba’aalawiy tentang Niat Puasa Ramadhan yang Benar serta Amalan Sunnah Di Bulan Ramadhan. Disampaikan pada 4 June 2016 bertempat di Masjid al ukhuwah , Karawang. (Mohon maaf atas kurang lebihnya dalam penulisan ini).
Alhamdulillah,
اللَّهُمَ صَلِّ عَلَى سَيـِـدِنـَا مُحَمَّدٍ الفـَـاتـِحِ لِمَا أُغـْـلِقَ . وَالخــَـاتــِـمِ لِمَا سـَـبـَـقَ نَاصِرِ الْحَقِ بِالْحَقِ وَالهـَـادِي إلىَ صِراطِكَ المُسْـتَـَقـِـيمِ. وَعَلىَ آلِهِ حَــقَّ قــَـدْرِهِ وَمِقـْـدَارِهِ العـَـظـِـيــم
” Allahumma Sholli alaa sayyidinaa Muhammadinilfaatihi limaa ughliqo wal khotimi limaa sabaqo nashiril haqqi bil haqqi wal haadii ilaa shirotikal mustaqim wa ‘alaa aalihii haqqo qodrihi wa miqdarihil ‘aziim.”
Ngaji itu penting, karena jika tidak ngaji, kita tidak tahu rukun rukunya ibadah, seperti contohnya:
1. sodaqoh,
shodaqoh itu juga ada ilmunya, tidak asal memberi saja. Ilmu shodaqoh diantaranya adalah memberi dengan ikhlas, dan tidak mengungkit ngungkit shodaqoh yang sudah pernah kira berikan kepada siapapun karena itu akan menghilangkan pahala shodaqoh itu sendiri. Bersedekahlah dengan ikhlas, jika pemberian itu dilakukan dari relung hati yang dalam (ikhlas), maka akan diterima di hati penerima.
2. Puasa,,
walaupun puasa adalah urusan Allah swt dengan orang yang berpuasa mengenai penghargaan/pahala yang akan diberikan, namun aturan puasa tetap Allah swt berian kepada manusia melalui maaikat Jibril.
MENGENAI PENENTUAN PUASA DAN IDHUL FITRI
Rasulullah s.a.w. teah emmberi guidance/petunjuk bagaimana cara menentukan hilal:
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata, aku mendengar Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, atau katanya Abu Al Qasim shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya'ban menjadi tiga puluh". (HR Bukhari 1776)
Dan dituliskan dalam Firman Allah ta'ala yang artinya
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah [2] : 185)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah membawakan dalam Bulughul Marom hadits no. 654,
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Manusia sedang memperhatikan hilal. Lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihat hilal. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim.
Rasulullah s.a.w. melanjutkan puasa dan juga menyuruh sahabatnya berpuasa, sedang beliau tidak melihatnya sendiri. Karena sahabat ini bisa dipercaya.
Saat ini jaman yang semakin mengkhawatirkan, ada orang yang katanya maunya belajar mengenai agama langsung dari Quran dan hadist tanpa melalui ulama, padahal belajar baca Qurannya dari ustadz..(jadi tidak konsisten dengan ucapannya).
Padahal ilmu tajuwid itu tidak ada jaman rasulullah..jaman sahabat juga belum ada tajuwid.maka karena malu dengan kata kata bid’ah yang dibuat sendiri, ada sebagian orang belajar tajuwid bilangnya belajar tahsin..padahal isinya sama..idhar..iqlab.dsb., mereka tidak mau menggunakan istilah yang masyarakat sudah mengenalnya. (mereka inginnya exclusive).
Padahal jika mau dibahas..penomeran ayat Quran..dan pemberian JUZ itu tidak ada dijaman nabi , namun mereka enggan bilang ini bid’ah..
Satu lagi..mengenai 1 day 1 juz, apakah ada jaman rasul, bahwa rasululah memerintahkan membaca 1 juz dalam sehari? Tidak ada…ini tidak ada dalilnya, BUKANKAH INI BID’AH?
Tentunya bagi aswaja (ahlu sunnah wal jamaah), perbuatan baik itu bukanlah bid’ah.
Jika semua perkara yang tidak ada perintah dalilnya dikatakan bid’ah,..apa coba hukumnya menolong orang kejepit resleting?...ini tidak ada dalilnya, namun bagi aswaja..segala kebaikan adalah ibadah..menolong orang kejepit resleting itu kebaikan..itu artinya ibadah.
Satu lagi pendapat orang wahabi, meminta bantuan kepada selain Allah itu syirik…
Ada orang tenggelam, minta banuan sama tim SAR,apakah ini syirik? Tidak..ini tidak syirik..(silahkan direnungkan).
KEMBALI membahas mengenai HILAL,
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا” – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ وَرَجَّحَ النَّسَائِيُّ إِرْسَالَهُ
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang Arab Badui ada pernah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun berkata, “Aku telah melihat hilal.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah?” Ia menjawab, “Iya.” “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?“, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– kembali bertanya. Ia pun menjawab, “Iya.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun memerintah, “Suruhlah manusia wahai Bilal agar mereka besok berpuasa.” Diriwayatkan oleh yang lima, yaitu Abu Daud, An Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menshahihkanny),
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ: لا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Dari Kuraib: “Sesungguhnya Ummu Fadl binti al-Harits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib:” Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan)?” Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”.Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?” Jawabku: “Ya! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawal) “. Aku bertanya: “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah?” Jawabnya : “Tidak! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami”. ( HR. Muslim [1087], Ahmad 1/306, Abu Dawud [2332], al-Tirmidzi [693], al-Nasa’i 4/131 dan Ibnu Khuzaimah [1916]).
Hadits di atas sangat tegas memberikan penjelasan, bahwa setiap daerah mengikuti hasil rukyatnya masing-masing dalam menentukan awal puasa dan hari raya. Dalam konteks ini, al-Imam Ibnu Khuzaimah menegaskan: “Hadist di atas merupakan dalil atas wajibnya tiap-tiap penduduk negeri untuk berpuasa Ramadhan berdasarkan karena ru’yah mereka, bukan ru’yah selain (negeri) mereka”. (Shahih Ibn Khuzaimah, juz 3 hlm 205).
Al-Imam Tirmidzi juga berkata :
وَالْعَمَلُ عَلىَ هَذَا الْحَدِيْثِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ لِكُلِّ أَهْلِ بَلَدٍ رُؤْيَتُهُمْ
“Hadits ini telah diamalkan oleh para ulama, bahwa sesungguhnya tiap-tiap penduduk negeri mempunyai ru’yah sendiri “. (Sunan al-Tirmidzi, juz 3 hlm 76).
Arab saudi dan Indonesia berbeda waktu puasanya,maka kita wajib Ikuti Indonesia (arab dan Indoensia saaj waktunya beda dengan Indonesia 4 Jam).
Bagaimana dengan negara teangga, Malaysia, thailand,philipine dsb..maka tetep ikut yang disepakati oleh ulama Indoensia melalui pemerintah.
Indonesia itu banyak sekali ulama , jadi jangan beranggapan di Indonesia tidak ada ulama, gurunya K.H.Hasyim asyari dan K.H.Ahmad dahlan itu seorang syech mufti mekah yang berdarah Indonesia.
Dulu, orang pegunungan sangat sulit melihat hilal (tidak seperti oran yang tinggal dipanatai) ,maka digunakanlah metode hisab.
Jika sekarang seharus sudah tidak lagi,karena media nformasi sudah menyebar luas, maka penglihatan hilal oleh orang yang berada dipantai .bisa langsung sampai informasinya digunung.
Kita harus menghormati keputusan yang diambil oleh ummat muslim lainya,
Sama halnya saya di thariqah naqsbandy, musryid kami syech mhammad hisyam, dan syech muhammad nazim memmerintahkan seluruh murid diseluruh dunia agar mengikuti puasa dan idul fitri yang ditetapkan oleh pemerintah setempat.Mursyid mursyid saya ahli hadist, tahu mengenai hukum hukum Islam, maka keputusannya ini sudahh sesuai dengan syariat Islam…
namun saya menghormati jamah thoriqat naqsbandy padang yang berbeda dengan kami dengan menentukan puasa lebih awal.
(Bersambung tentang amalan amalan sunnah di bulan Ramadhan yang dianggap sesat oleh sekte minoritas, yaitu khawarij modern /wahabi).
AMALAN SUNNAH PADA BULAN RAMADHAN.
1.NIAT PUASA.
Kita sudah umum, selalu bersama sama IMAM setelah sholat tarawih melafadzkan Niat puasa.
Kenapa demikian, karena dikhawatirkan orang lalai/lupa tidak mendawamkan/berniat untuk puasa hingga subuh.
Karena puasa wajib berbeda dengan puasa sunnah, dimana puasa sunnah boleh berniat ketia matahari sudah muncul (siang) sementara niat puasa wajib baru sah jika sudah niat sebelum fajar.
Dalilnya:
hadits di riwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi mengatakan "man lam yubayyit al-shiyaama min al-layli qablaal fajri fala shiyama lahu / Barangsiapa yang tidak meniatkan dirinya untuk berpuasa ramdhan di malam harinya, maka tidak sah puasa ramdhannya".
Karena itu di wajibkan niat ramadhan di setiap malamnya.
Bagaimana niat yang benar pelafadzannnya:
“Nawaitu shauma ghodin ‘an adaa-i fardhi syahri Ramadhaani haadzihissanati lillaahi ta’aalaa.”
Artinya: Aku niat puasa esok hari untuk menunaikan kefardhuan bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Taala.
Para ulama telah memberikan tahqiq dhabith (catatan) pada lafadz “Ramadhaani” dalam bacaan niat di atas, untuk dibaca dengan dijarkan/dikasrahkan lantaran kata “Ramadhaani” di sini telah diidhofahkan (disandarkan) dengan kata “haadzihissanati” sebagai mudhaf ilaih. Bagi para pecinta ilmu, tentunya penjelasan ini bukan perkara yang sulit untuk diketahui.
Dalam ilmu Nahwu, kata “Ramadhani” termasuk salah satu kalimat isim ghairu munsharif (nama yang tidak menerima tanwin). Hal ihwal isim ghairu munsharif menurut pakar ulama Nahwu, jika ia dalam keadaan rafa’ maka ia dirafa’kan dengan dhammah, diwaktu nashab dinashabkan dengan fathah, dan saat dikhafadhkan atau dijarkan dengan fathah, berbeda dengan isim munsharif (yang menerima tanwin), ia dijarkan/dikhafadkan dengan kasrah. Kaidah tersebut berlaku bila kalimat isim ghairu munsharif tidak diidhafahkan kepada kata selanjutnya (mudhaf ilaih). Bila kalimat isim ghairu munsharif diidhafahkan kepada kalimat selanjutnya (mudhaf ilaih) maka gugurlah hukum ke-ghairumunsharifan-nya, dan kalimat tersebut dibaca dengan kasrah.
Pakainya RAMADHANI , bukan RAMADHONA.
RAMADHANI : Jelas untuk ramadhan sekarang
RAMADHONA: tidak diketahui ramadhan kapan, ibsa jadi puasa qodhlo.
FRADHI SYAHRI, Bukan FARDHU SYAHRI.
Maka mari kita baca lagi niatnya begini:
“Nawaitu shauma ghodin ‘an adaa-i fardhi syahri Ramadhaani haadzihissanati lillaahi ta’aalaa.”
Artinya: Aku niat puasa esok hari untuk menunaikan kefardhuan bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Taala.
2. TARAWIH FULL BULAN RAMADHAN BERJAMAAH:
Rasulullah s.a.w. sholat tarawih hanya di tanggal 21,23, dan 25.
Waktu itu rasulullah melaksanakan sholat tarawih, kemudian para sahabat saling memberi tahukan kepada sahabat yang lainya, hingga pada tanggal 25 Ramadhan, Masjid menjadi penuh. Dan dihari berikutnya rasulullah tidak keluar, karena khawatir tarawih dijadikan amalan wajib dan memberatkan umatnya.
REFERENSI HADISTNYA:
Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para sahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.”
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian.” ( HR Muslim 1270 )
Dan dijaman sayydidina Umar ra, ibadah tarawih dijadikan berjamaah , (dijaman rasulullah tidak ada sholat berjamaah, namun ini baru ada di jaman sayyidina umar ra).
Dan sayydina umar berkata:” ini adalah sebaik baik bid’ah (bid’ah yang nikmat).
(Tambahan penulis, bahwa kita harus engikuti sunnah sahabat khulaturasyidin dengan dalil:
sabda Rasulullah saw:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
“Wajib atas kamu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah dari al-Khulafaur Rasyidin”)
Sayyidina Umar bin Khatab radliallahu ‘anhu mengatakan sebagai “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini” adalah setelah Beliau melihat orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam pada malam berikutnya
Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata; Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam, yang ia maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada awal malam. (HR Bukhari 1871)
Sayyidina Umar bin Khattab mengatakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam adalah bid’ah yang baik pada malam berikutnya karena Beliau tahu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak melakukannya berkesinambungan setiap malam agar umat Islam tidak menganggapnya sebagai sebuah kewajiban di bulan Ramadhan.
3.TADARUS ALQURAN
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ )) رواه البخاري .
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya.” [Al-Bukhari 5027]
Adalah baik,biladiramadhan ini kita isi dengan pembacaan ALQURAN.
Sehungguhnya Rahmat dan ketentraman akan turun ketika kita berkumpul membaca Alquran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah berkumpul sebuah kaum di salah satu rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan mempelajarinya, kecuali akan turun ketentraman kepada mereka, diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat dan Allah akan menyebut mereka ke hadapan makhluk di sisi-Nya.” (HR. Muslim)
4. TAKBIRAN DI IDHUL FITRI
Bertakbir di malam hari raya adalah merupakan sunnah Nabi Muhammad yang amat perlu untuk di lestarikan dalam menampakkan dan mengangkat syi’ar Islam.
Atsar Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu :
كَانَ عَبْدُ اللهِ يُكَبِّرُ مِنْ صَلاَةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ مِنَ يوم النَّحْرِ ، يَقُولُ : اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.
“ Bahwa Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertakbir setelah shalat Subuh pada hari Arafah ( 9 Dzulhijjah ), hingga sholat Ashar pada hari Nahr, dan beliau bertakbir dengan lafadz sebagai berikut : Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, La Ilaha Illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar walillah al-hamdu. ( AR. Ibnu Abi Syaibah ( 5679 ) . Di dalam al-Ausath Ibnu al-Mundzir( 4/305 ) disebutkan : “ Allahu Akbar, Allahu Akbar ( hanya 2x) , La Ilaha Illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar walillah al-hamdu. “ Ini juga diriwayatkan dari Ali bin Thalib dalam kitab yang sama.
عَنِ الزُّهْرِيِّ، «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ، فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى، وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلَاةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلَاةَ، قَطَعَ التَّكْبِيرَ
“Dari Az-Zuhri, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam keluar pada hari raya Fithri, dan mengumandangkan takbir hingga tiba di al-Mushalla, hingga selesai shalat, maka ketika shalat selesai, beliau menghentikan takbir”. (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Rasulullah berjalan melewati jalan jalan rumah penduduk sambil bertakbir, sehingga para penduduk mengikutinya hingga perjalanan rasulullah bermuara ditempat sholat.
Tambahan penulis :
Berdasarkan Hadits dalam Shohih Imam Bukhori No 971 yang diriwayatkan oleh Ummi Athiyah, beliau berkata :
كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ، حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا، حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيّاَضَ، فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ، وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ.(رواه البخاري
Artinya : “Kami diperintahkan untuk keluar pada hari raya sehingga para wanita-wanita yang masih gadispun diperintah keluar dari rumahnya, begitu juga wanita-wanita yang sedang haid dan mereka berjalan dibelakang para manusia (kaum pria) kemudian para wanita tersebut mengumandangkan takbir bersama takbirnya manusia (kaum pria)dan berdoa dengan doanya para manusia serta mereka semua mengharap keberkahan dan kesucian hari raya tersebut”.
Di sebutkan dalam hadits tersebut فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْpara wanita tersebut mengumandangkan takbir bersama takbirnya manusia. Itu menunjukan takbir terjadi secara berjamaah atau bersamaan.
Bahkan dalam riwayat imam Muslim dengan kalimat”para wanita bertakbir bersama-sama orang-orang yang bertakbir” يُكَبِّرْنَ مَعَ النَّاس.
Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari sayyidina Umar bin Khottob dalam bab takbir saat di mina
وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ فَيُكَبِّرُونَ وَيُكَبِّرُ أَهْلُ الْأَسْوَاقِ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا
Artinya : “Sahabat umar bertakbir di qubahnya yang berada di tanah mina lalu penduduk masjid mendengarnya dan kemudian mereka bertakbir begitu penduduk pasar bertakbir sehingga tanah mina bergema dengan suara takbir” .
Ibnu Hajar Al Asqolani (pensyarah besar kitab shohih buhkori) mengomentari kalimat :
حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا
dengan
"أي يَضْطَرِّبُ وَتَتَحَرَّكُ, وَهِيَ مُبَالَغَةٌ فِي اجْتِمَاعِ رَفْعِ الصَّوْتِ."
Bergoncang dan bergerak, bergetar yaitu menunjukan kuatnya suara yang bersama-sama .
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Imam Syafi’i ra dalam kitab Al’um 1/264 :
أَحْبَبْتُ أَنْ يَكُبِّرَ النَّاسُ جَمَاعَةً وَفُرَادًى فِي المَسْجِدِ وَالْأَسْوَاقِ وَالْطُرُقِ وَالْمَنَازِلِ والْمُسَافِرِيْنَ والْمُقِيْمِيْنَ فِي كُلِّ حَالٍ وَأَيْنَ كَانُوْا وَأَنَ يَظْهَرُوْا الْتَكْبِيْرَ "
Artinya : “Aku senang(maksudnya adalah sunnah) orang-orang pada bertakbir secara bersama dan sendiri-sendiri, baik di masjid, pasar, rumah, saat bepergian atau rmukim dan setiap keadaan dan di manapun mereka berada agar mereka menampakkan(syi’ar) takbir”.
Tidak pernah ada dari ulama terdahulu yang mengatakan takbir secara berjamaah adalah bid’ah. Bahkan yang ada adalah justru sebaliknya anjuran dan contoh takbir bersama-sama dari ulama terdahulu ..
Trimkasih atas salinan copynya by mas Condro Aris Widodo
Alhamdulillah,
اللَّهُمَ صَلِّ عَلَى سَيـِـدِنـَا مُحَمَّدٍ الفـَـاتـِحِ لِمَا أُغـْـلِقَ . وَالخــَـاتــِـمِ لِمَا سـَـبـَـقَ نَاصِرِ الْحَقِ بِالْحَقِ وَالهـَـادِي إلىَ صِراطِكَ المُسْـتَـَقـِـيمِ. وَعَلىَ آلِهِ حَــقَّ قــَـدْرِهِ وَمِقـْـدَارِهِ العـَـظـِـيــم
” Allahumma Sholli alaa sayyidinaa Muhammadinilfaatihi limaa ughliqo wal khotimi limaa sabaqo nashiril haqqi bil haqqi wal haadii ilaa shirotikal mustaqim wa ‘alaa aalihii haqqo qodrihi wa miqdarihil ‘aziim.”
Ngaji itu penting, karena jika tidak ngaji, kita tidak tahu rukun rukunya ibadah, seperti contohnya:
1. sodaqoh,
shodaqoh itu juga ada ilmunya, tidak asal memberi saja. Ilmu shodaqoh diantaranya adalah memberi dengan ikhlas, dan tidak mengungkit ngungkit shodaqoh yang sudah pernah kira berikan kepada siapapun karena itu akan menghilangkan pahala shodaqoh itu sendiri. Bersedekahlah dengan ikhlas, jika pemberian itu dilakukan dari relung hati yang dalam (ikhlas), maka akan diterima di hati penerima.
2. Puasa,,
walaupun puasa adalah urusan Allah swt dengan orang yang berpuasa mengenai penghargaan/pahala yang akan diberikan, namun aturan puasa tetap Allah swt berian kepada manusia melalui maaikat Jibril.
MENGENAI PENENTUAN PUASA DAN IDHUL FITRI
Rasulullah s.a.w. teah emmberi guidance/petunjuk bagaimana cara menentukan hilal:
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata, aku mendengar Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, atau katanya Abu Al Qasim shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya'ban menjadi tiga puluh". (HR Bukhari 1776)
Dan dituliskan dalam Firman Allah ta'ala yang artinya
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah [2] : 185)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah membawakan dalam Bulughul Marom hadits no. 654,
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Manusia sedang memperhatikan hilal. Lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihat hilal. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim.
Rasulullah s.a.w. melanjutkan puasa dan juga menyuruh sahabatnya berpuasa, sedang beliau tidak melihatnya sendiri. Karena sahabat ini bisa dipercaya.
Saat ini jaman yang semakin mengkhawatirkan, ada orang yang katanya maunya belajar mengenai agama langsung dari Quran dan hadist tanpa melalui ulama, padahal belajar baca Qurannya dari ustadz..(jadi tidak konsisten dengan ucapannya).
Padahal ilmu tajuwid itu tidak ada jaman rasulullah..jaman sahabat juga belum ada tajuwid.maka karena malu dengan kata kata bid’ah yang dibuat sendiri, ada sebagian orang belajar tajuwid bilangnya belajar tahsin..padahal isinya sama..idhar..iqlab.dsb., mereka tidak mau menggunakan istilah yang masyarakat sudah mengenalnya. (mereka inginnya exclusive).
Padahal jika mau dibahas..penomeran ayat Quran..dan pemberian JUZ itu tidak ada dijaman nabi , namun mereka enggan bilang ini bid’ah..
Satu lagi..mengenai 1 day 1 juz, apakah ada jaman rasul, bahwa rasululah memerintahkan membaca 1 juz dalam sehari? Tidak ada…ini tidak ada dalilnya, BUKANKAH INI BID’AH?
Tentunya bagi aswaja (ahlu sunnah wal jamaah), perbuatan baik itu bukanlah bid’ah.
Jika semua perkara yang tidak ada perintah dalilnya dikatakan bid’ah,..apa coba hukumnya menolong orang kejepit resleting?...ini tidak ada dalilnya, namun bagi aswaja..segala kebaikan adalah ibadah..menolong orang kejepit resleting itu kebaikan..itu artinya ibadah.
Satu lagi pendapat orang wahabi, meminta bantuan kepada selain Allah itu syirik…
Ada orang tenggelam, minta banuan sama tim SAR,apakah ini syirik? Tidak..ini tidak syirik..(silahkan direnungkan).
KEMBALI membahas mengenai HILAL,
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا” – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ وَرَجَّحَ النَّسَائِيُّ إِرْسَالَهُ
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang Arab Badui ada pernah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun berkata, “Aku telah melihat hilal.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah?” Ia menjawab, “Iya.” “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?“, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– kembali bertanya. Ia pun menjawab, “Iya.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun memerintah, “Suruhlah manusia wahai Bilal agar mereka besok berpuasa.” Diriwayatkan oleh yang lima, yaitu Abu Daud, An Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menshahihkanny),
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ: لا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Dari Kuraib: “Sesungguhnya Ummu Fadl binti al-Harits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib:” Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan)?” Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”.Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?” Jawabku: “Ya! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawal) “. Aku bertanya: “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah?” Jawabnya : “Tidak! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami”. ( HR. Muslim [1087], Ahmad 1/306, Abu Dawud [2332], al-Tirmidzi [693], al-Nasa’i 4/131 dan Ibnu Khuzaimah [1916]).
Hadits di atas sangat tegas memberikan penjelasan, bahwa setiap daerah mengikuti hasil rukyatnya masing-masing dalam menentukan awal puasa dan hari raya. Dalam konteks ini, al-Imam Ibnu Khuzaimah menegaskan: “Hadist di atas merupakan dalil atas wajibnya tiap-tiap penduduk negeri untuk berpuasa Ramadhan berdasarkan karena ru’yah mereka, bukan ru’yah selain (negeri) mereka”. (Shahih Ibn Khuzaimah, juz 3 hlm 205).
Al-Imam Tirmidzi juga berkata :
وَالْعَمَلُ عَلىَ هَذَا الْحَدِيْثِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ لِكُلِّ أَهْلِ بَلَدٍ رُؤْيَتُهُمْ
“Hadits ini telah diamalkan oleh para ulama, bahwa sesungguhnya tiap-tiap penduduk negeri mempunyai ru’yah sendiri “. (Sunan al-Tirmidzi, juz 3 hlm 76).
Arab saudi dan Indonesia berbeda waktu puasanya,maka kita wajib Ikuti Indonesia (arab dan Indoensia saaj waktunya beda dengan Indonesia 4 Jam).
Bagaimana dengan negara teangga, Malaysia, thailand,philipine dsb..maka tetep ikut yang disepakati oleh ulama Indoensia melalui pemerintah.
Indonesia itu banyak sekali ulama , jadi jangan beranggapan di Indonesia tidak ada ulama, gurunya K.H.Hasyim asyari dan K.H.Ahmad dahlan itu seorang syech mufti mekah yang berdarah Indonesia.
Dulu, orang pegunungan sangat sulit melihat hilal (tidak seperti oran yang tinggal dipanatai) ,maka digunakanlah metode hisab.
Jika sekarang seharus sudah tidak lagi,karena media nformasi sudah menyebar luas, maka penglihatan hilal oleh orang yang berada dipantai .bisa langsung sampai informasinya digunung.
Kita harus menghormati keputusan yang diambil oleh ummat muslim lainya,
Sama halnya saya di thariqah naqsbandy, musryid kami syech mhammad hisyam, dan syech muhammad nazim memmerintahkan seluruh murid diseluruh dunia agar mengikuti puasa dan idul fitri yang ditetapkan oleh pemerintah setempat.Mursyid mursyid saya ahli hadist, tahu mengenai hukum hukum Islam, maka keputusannya ini sudahh sesuai dengan syariat Islam…
namun saya menghormati jamah thoriqat naqsbandy padang yang berbeda dengan kami dengan menentukan puasa lebih awal.
(Bersambung tentang amalan amalan sunnah di bulan Ramadhan yang dianggap sesat oleh sekte minoritas, yaitu khawarij modern /wahabi).
AMALAN SUNNAH PADA BULAN RAMADHAN.
1.NIAT PUASA.
Kita sudah umum, selalu bersama sama IMAM setelah sholat tarawih melafadzkan Niat puasa.
Kenapa demikian, karena dikhawatirkan orang lalai/lupa tidak mendawamkan/berniat untuk puasa hingga subuh.
Karena puasa wajib berbeda dengan puasa sunnah, dimana puasa sunnah boleh berniat ketia matahari sudah muncul (siang) sementara niat puasa wajib baru sah jika sudah niat sebelum fajar.
Dalilnya:
hadits di riwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi mengatakan "man lam yubayyit al-shiyaama min al-layli qablaal fajri fala shiyama lahu / Barangsiapa yang tidak meniatkan dirinya untuk berpuasa ramdhan di malam harinya, maka tidak sah puasa ramdhannya".
Karena itu di wajibkan niat ramadhan di setiap malamnya.
Bagaimana niat yang benar pelafadzannnya:
“Nawaitu shauma ghodin ‘an adaa-i fardhi syahri Ramadhaani haadzihissanati lillaahi ta’aalaa.”
Artinya: Aku niat puasa esok hari untuk menunaikan kefardhuan bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Taala.
Para ulama telah memberikan tahqiq dhabith (catatan) pada lafadz “Ramadhaani” dalam bacaan niat di atas, untuk dibaca dengan dijarkan/dikasrahkan lantaran kata “Ramadhaani” di sini telah diidhofahkan (disandarkan) dengan kata “haadzihissanati” sebagai mudhaf ilaih. Bagi para pecinta ilmu, tentunya penjelasan ini bukan perkara yang sulit untuk diketahui.
Dalam ilmu Nahwu, kata “Ramadhani” termasuk salah satu kalimat isim ghairu munsharif (nama yang tidak menerima tanwin). Hal ihwal isim ghairu munsharif menurut pakar ulama Nahwu, jika ia dalam keadaan rafa’ maka ia dirafa’kan dengan dhammah, diwaktu nashab dinashabkan dengan fathah, dan saat dikhafadhkan atau dijarkan dengan fathah, berbeda dengan isim munsharif (yang menerima tanwin), ia dijarkan/dikhafadkan dengan kasrah. Kaidah tersebut berlaku bila kalimat isim ghairu munsharif tidak diidhafahkan kepada kata selanjutnya (mudhaf ilaih). Bila kalimat isim ghairu munsharif diidhafahkan kepada kalimat selanjutnya (mudhaf ilaih) maka gugurlah hukum ke-ghairumunsharifan-nya, dan kalimat tersebut dibaca dengan kasrah.
Pakainya RAMADHANI , bukan RAMADHONA.
RAMADHANI : Jelas untuk ramadhan sekarang
RAMADHONA: tidak diketahui ramadhan kapan, ibsa jadi puasa qodhlo.
FRADHI SYAHRI, Bukan FARDHU SYAHRI.
Maka mari kita baca lagi niatnya begini:
“Nawaitu shauma ghodin ‘an adaa-i fardhi syahri Ramadhaani haadzihissanati lillaahi ta’aalaa.”
Artinya: Aku niat puasa esok hari untuk menunaikan kefardhuan bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Taala.
2. TARAWIH FULL BULAN RAMADHAN BERJAMAAH:
Rasulullah s.a.w. sholat tarawih hanya di tanggal 21,23, dan 25.
Waktu itu rasulullah melaksanakan sholat tarawih, kemudian para sahabat saling memberi tahukan kepada sahabat yang lainya, hingga pada tanggal 25 Ramadhan, Masjid menjadi penuh. Dan dihari berikutnya rasulullah tidak keluar, karena khawatir tarawih dijadikan amalan wajib dan memberatkan umatnya.
REFERENSI HADISTNYA:
Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para sahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.”
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian.” ( HR Muslim 1270 )
Dan dijaman sayydidina Umar ra, ibadah tarawih dijadikan berjamaah , (dijaman rasulullah tidak ada sholat berjamaah, namun ini baru ada di jaman sayyidina umar ra).
Dan sayydina umar berkata:” ini adalah sebaik baik bid’ah (bid’ah yang nikmat).
(Tambahan penulis, bahwa kita harus engikuti sunnah sahabat khulaturasyidin dengan dalil:
sabda Rasulullah saw:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
“Wajib atas kamu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah dari al-Khulafaur Rasyidin”)
Sayyidina Umar bin Khatab radliallahu ‘anhu mengatakan sebagai “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini” adalah setelah Beliau melihat orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam pada malam berikutnya
Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata; Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam, yang ia maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada awal malam. (HR Bukhari 1871)
Sayyidina Umar bin Khattab mengatakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam adalah bid’ah yang baik pada malam berikutnya karena Beliau tahu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak melakukannya berkesinambungan setiap malam agar umat Islam tidak menganggapnya sebagai sebuah kewajiban di bulan Ramadhan.
3.TADARUS ALQURAN
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ )) رواه البخاري .
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya.” [Al-Bukhari 5027]
Adalah baik,biladiramadhan ini kita isi dengan pembacaan ALQURAN.
Sehungguhnya Rahmat dan ketentraman akan turun ketika kita berkumpul membaca Alquran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah berkumpul sebuah kaum di salah satu rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan mempelajarinya, kecuali akan turun ketentraman kepada mereka, diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat dan Allah akan menyebut mereka ke hadapan makhluk di sisi-Nya.” (HR. Muslim)
4. TAKBIRAN DI IDHUL FITRI
Bertakbir di malam hari raya adalah merupakan sunnah Nabi Muhammad yang amat perlu untuk di lestarikan dalam menampakkan dan mengangkat syi’ar Islam.
Atsar Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu :
كَانَ عَبْدُ اللهِ يُكَبِّرُ مِنْ صَلاَةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ مِنَ يوم النَّحْرِ ، يَقُولُ : اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.
“ Bahwa Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertakbir setelah shalat Subuh pada hari Arafah ( 9 Dzulhijjah ), hingga sholat Ashar pada hari Nahr, dan beliau bertakbir dengan lafadz sebagai berikut : Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, La Ilaha Illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar walillah al-hamdu. ( AR. Ibnu Abi Syaibah ( 5679 ) . Di dalam al-Ausath Ibnu al-Mundzir( 4/305 ) disebutkan : “ Allahu Akbar, Allahu Akbar ( hanya 2x) , La Ilaha Illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar walillah al-hamdu. “ Ini juga diriwayatkan dari Ali bin Thalib dalam kitab yang sama.
عَنِ الزُّهْرِيِّ، «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ، فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى، وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلَاةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلَاةَ، قَطَعَ التَّكْبِيرَ
“Dari Az-Zuhri, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam keluar pada hari raya Fithri, dan mengumandangkan takbir hingga tiba di al-Mushalla, hingga selesai shalat, maka ketika shalat selesai, beliau menghentikan takbir”. (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Rasulullah berjalan melewati jalan jalan rumah penduduk sambil bertakbir, sehingga para penduduk mengikutinya hingga perjalanan rasulullah bermuara ditempat sholat.
Tambahan penulis :
Berdasarkan Hadits dalam Shohih Imam Bukhori No 971 yang diriwayatkan oleh Ummi Athiyah, beliau berkata :
كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ، حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا، حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيّاَضَ، فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ، وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ.(رواه البخاري
Artinya : “Kami diperintahkan untuk keluar pada hari raya sehingga para wanita-wanita yang masih gadispun diperintah keluar dari rumahnya, begitu juga wanita-wanita yang sedang haid dan mereka berjalan dibelakang para manusia (kaum pria) kemudian para wanita tersebut mengumandangkan takbir bersama takbirnya manusia (kaum pria)dan berdoa dengan doanya para manusia serta mereka semua mengharap keberkahan dan kesucian hari raya tersebut”.
Di sebutkan dalam hadits tersebut فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْpara wanita tersebut mengumandangkan takbir bersama takbirnya manusia. Itu menunjukan takbir terjadi secara berjamaah atau bersamaan.
Bahkan dalam riwayat imam Muslim dengan kalimat”para wanita bertakbir bersama-sama orang-orang yang bertakbir” يُكَبِّرْنَ مَعَ النَّاس.
Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari sayyidina Umar bin Khottob dalam bab takbir saat di mina
وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ فَيُكَبِّرُونَ وَيُكَبِّرُ أَهْلُ الْأَسْوَاقِ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا
Artinya : “Sahabat umar bertakbir di qubahnya yang berada di tanah mina lalu penduduk masjid mendengarnya dan kemudian mereka bertakbir begitu penduduk pasar bertakbir sehingga tanah mina bergema dengan suara takbir” .
Ibnu Hajar Al Asqolani (pensyarah besar kitab shohih buhkori) mengomentari kalimat :
حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا
dengan
"أي يَضْطَرِّبُ وَتَتَحَرَّكُ, وَهِيَ مُبَالَغَةٌ فِي اجْتِمَاعِ رَفْعِ الصَّوْتِ."
Bergoncang dan bergerak, bergetar yaitu menunjukan kuatnya suara yang bersama-sama .
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Imam Syafi’i ra dalam kitab Al’um 1/264 :
أَحْبَبْتُ أَنْ يَكُبِّرَ النَّاسُ جَمَاعَةً وَفُرَادًى فِي المَسْجِدِ وَالْأَسْوَاقِ وَالْطُرُقِ وَالْمَنَازِلِ والْمُسَافِرِيْنَ والْمُقِيْمِيْنَ فِي كُلِّ حَالٍ وَأَيْنَ كَانُوْا وَأَنَ يَظْهَرُوْا الْتَكْبِيْرَ "
Artinya : “Aku senang(maksudnya adalah sunnah) orang-orang pada bertakbir secara bersama dan sendiri-sendiri, baik di masjid, pasar, rumah, saat bepergian atau rmukim dan setiap keadaan dan di manapun mereka berada agar mereka menampakkan(syi’ar) takbir”.
Tidak pernah ada dari ulama terdahulu yang mengatakan takbir secara berjamaah adalah bid’ah. Bahkan yang ada adalah justru sebaliknya anjuran dan contoh takbir bersama-sama dari ulama terdahulu ..
Trimkasih atas salinan copynya by mas Condro Aris Widodo
0 Komentar untuk "Niat Puasa Ramadhan yang Benar serta Amalan Sunnah Di Bulan Ramadhan oleh Habib Seif Alwiy Ba’aalawiy"