Tiada Hari Tanpa Belajar

Masihkah ada Guru Idola?

Advertisement
Masihkah ada Guru Idola?
Oleh : Imam Subkhan | 16-Mar-2013, 00:54:26 WIB

KabarIndonesia - Tentu kita selalu ingat ketika ditanya siapa guru waktu di SD yang paling galak, sangar, killer, atau paling baik dan perhatian. Bahkan, kita tak pernah lupa ketika harus menyebut nama guru tersebut, termasuk kejadian-kejadian unik, lucu sekaligus menyebalkan waktu kita masih berseragam merah-putih.

Masihkah ada Guru Idola?

 











Saya masih ingat betul, ketika tangan dan jari saya disuruh meletakkan di atas
meja, kemudian penggaris kayu yang berat dan panjang tiba-tiba mendarat, dan membuat saya meringis kesakitan. Gara-garanya sepele, saya tidak mengerjakan PR menulis huruf Jawa. Demikian pula anak-anak lain yang lupa menggarap, satu per satu mendapat giliran pukulan penggaris dari sang guru.

Sisi yang lain, saya pun masih terkesan dengan guru SD pelajaran olahraga, yang begitu perhatian dan selalu memberi motivasi kepada para muridnya. Tidak jarang pula, guru ini membelikan jajan atau oleh-oleh kepada muridnya ketika ada kegiatan di luar sekolah, seperti perlombaan, kemah, karnaval dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Tidak heran, jika semua murid menilai bahwa beliau adalah sosok guru yang sangat “dekat dan lekat” dengan anak. Bahkan ketika liburan sekolah, murid-murid satu kelas berinisiatif berkunjung ke rumahnya. Sekadar melepas rindu dengan guru pujaan hati, walaupun hanya dua pekan tidak bertatap muka.

Begitulah sosok guru yang baik, selalu diingat dan dirindukan oleh murid-muridnya. Ketidakhadirannya di kelas, sungguh menjadi kabar buruk yang bisa meruntuhkan semangat anak untuk belajar. Begitu juga sebaliknya, guru killer-sebutan guru yang galak dan pemarah, ketidakhadirannya di kelas, justru merupakan kabar gembira yang patut dirayakan.

Memang, memori kita lebih kuat merekam sesuatu atau kejadian-kejadian yang menonjol, termasuk pada guru-guru masa lampau yang dianggap “paling” atau “ter-ter” tersebut. Tentu, kita sulit mengingat pada sosok guru yang biasa-biasa saja atau serba baku cara mengajarnya. Setiap kali masuk kelas, langsung duduk dan menanyakan, “Siapa yang tidak masuk hari ini, mana PR-nya?  Buka buku halaman sekian dan kerjakan dengan benar, silahkan salin tulisan di papan tulis, dan tidak boleh ramai!” dan ungkapan-ungkapan serba monoton lainnya. Guru semacam ini, tentu tidak begitu membekas di memori para muridnya.

Nah, pertanyaannya sekarang, sudahkah guru-guru kita saat ini menjadi figur pujaan para anak didik yang senantiasa dirindukan sekaligus diikuti tutur dan perilakunya? Pertanyaan ini sangat menggelitik, seiring dengan profesi guru yang semakin diincar banyak orang, karena dari hari ke hari tingkat kesejahteraan guru semakin baik. Entah itu, atas nama program peningkatan mutu, sertifikasi, inpassing atau penyesuaian kepangkatan dan sebagainya.

Ternyata, mengalirnya pundi-pundi uang ke kantong guru tersebut, tidak serta-merta diikuti oleh pelayanan pendidikan yang semakin baik dan berkualitas. Walaupun jaman telah sedemikian modern dan gaya hidup anak telah bergeser, namun masih banyak didapati para guru yang mengajar dengan cara-cara konvensional yang cenderung monoton, jadul dan membosankan. Suasana kelas yang senyap bak kuburan, murid-muridnya duduk dengan kaku, tangannya di atas meja, kakinya rapat, mulutnya terkunci, hanya bola matanya yang berputar-putar mengikuti gerak gurunya.  Itu dianggap guru yang berhasil karena mampu menenangkan para siswanya sedemikian rupa. Sementara suasana kelas yang heboh, berisik, penataan bangku yang tidak biasanya dan anak bebas bergerak ke sana-kemari, itu dianggap guru yang gagal karena tidak bisa mengondisikan siswa untuk diam. Padahal, guru tersebut sedang menerapkan metode pembelajaran role playing atau bermain peran.  Seluruh siswa terlibat aktif berdiskusi dan memperagakan sesuai tema pembelajaran.

Salah satu wahana yang menampilkan bagaimana guru mengajar secara atraktif adalah Teachers Idol 2013 yang belum lama ini digelar di kota Solo. Kegiatan yang digagas oleh Yayasan Lembaga Pendidikan Al Firdaus bekerja sama dengan Harian Solopos ini merupakan ajang pencarian guru-guru berbakat yang memiliki keunikan, kompetensi dan berkepribadian seorang pendidik. Harapannya, guru-guru semacam ini bisa menjadi idola bagi anak-anak, yang segala sepak terjangnya bisa dicontoh dan ditiru oleh anak didiknya.

Kehadiran guru seperti ini, senantiasa dinanti-nanti oleh para siswanya. Selama ini yang terjadi justru sebaliknya. Ketika ada guru piket yang mengumumkan di kelas, bahwa guru A tidak bisa mengajar karena ada urusan dinas, maka tanpa dikomando, sontak para murid berteriak, “Asyik…… pelajaran kosong!” Kenapa yang keluar dari mulut anak-anak bukan ekspresi kekecewaan karena tidak bisa berjumpa dengan guru A, tetapi malah ungkapan kegembiraan yang luar biasa. Inilah fenomena yang ada, bahwa sebagian besar guru-guru kita belum menjadi figur yang diidolakan dan digandrungi anak-anak.

Ikatan batin
Disadari atau tidak, bahwa jalinan interaksi antara guru dan siswa di sekolah berlangsung lama, tetapi guru gagal dalam menjalin ikatan batin dan menjadi daya lekat bagi para siswanya. Bahkan ironisnya, ketika anak sudah lulus sekolah, seolah-olah antara keduanya sudah tidak saling kenal. Murid lebih memilih menghindar ketika harus berpapasan dengan mantan gurunya. Hal ini menandakan, bahwa hubungan guru dengan murid tak ubahnya seperti penjual dan pembeli, yang bersifat transaksional. Setelah sama-sama mendapatkan sesuatu yang diinginkan, maka urusan selesai.

Tentu, saya tidak berniat mengatakan bahwa semua guru gagal dalam hal ini. Masih segar di ingatan kita, ratusan siswa SD dan walimurid di beberapa daerah berunjuk rasa di kantor dinas pendidikan, demi mempertahankan guru kesayangannya agar tidak dimutasi ke sekolah lain. Artinya, saya melihat bahwa guru ini telah berhasil menanamkan daya lekat di kalangan anak didiknya.

Jujur, saya sependapat dengan tulisan Bandung Mawardi di rubrik gagasan harian Solopos beberapa waktu lalu yang mengangkat judul Mencari Guru Idola? Artinya, bahwa dari segi bahasa, sebutan teacher untuk guru dianggap kurang berpijak pada kesejarahan, identitas, adab, etika, pendidikan dan kebudayaan bangsa kita. Namun, saya lebih menyoroti pada esensi dari ajang kompetisi guru bertajuk Teachers Idol ini, yaitu menginspirasi para guru untuk menjadi sosok yang diidolakan anak didiknya. Namun, jika itu harus diperdebatkan antara guru dengan teacher, saya lebih suka menggunakan istilah pendidik. Karena pendidik, memiliki makna yang luas dan dalam, tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Ketika seseorang telah terpatri jiwa pendidik, biar pun embel-embel pak guru atau bu guru telah tertanggal, dia akan selalu mentransformasi nilai-nilai dan menginspirasi semua orang yang dijumpainya.

Di dunia pendidikan, kita tidak diharamkan untuk berinovasi dan berkreativitas, termasuk dalam mengemas kegiatan dengan mengadopsi hal-hal yang menjadi tren di kalangan pelajar dan masyarakat. Program-program TV bertajuk idola telah sedemikian populer di kalangan masyarakat. Mulai dari American Idol, Indonesian Idol, Idola Cilik, dan program-program sejenis dari berbagai bidang pekerjaan, yang intinya melahirkan para bintang dan selebritis baru. Namun sejauh ini, profesi guru yang sesungguhnya menjadi salah satu pilar pembangunan bangsa, belum menjadi sesuatu yang menarik untuk dikompetisikan dan di-branding dengan balutan entertainment. Selama ini, ajang kompetisi antar guru yang ada adalah lomba guru teladan, yang kadangkala terjebak pada persyaratan administratif dan politis sehingga kurang menyentuh pada esensinya, yaitu memunculkan guru-guru yang berkepribadian baik, tanpa memandang senioritas, seperti lamanya pengabdian.

Kriteria
Memang, berbicara guru idola, tentu masih sangat terbuka untuk diperdebatkan, apalagi menyangkut kreteria dan indikator yang dijadikan acuan penilaian. Semakin banyak aspek yang dinilai, tentu semakin absah output kompetisi ini. Tetapi, secara garis besar ada tiga prinsip yang menjadi parameter dalam pemilihan guru idola ini. Pertama, guru harus berani tampil beda (out of the box), artinya tidak terjebak pada hal-hal yang rutin, lazim dan prosedural. Dalam hal ini, guru senantiasa berinovasi dan berimprovisasi dalam setiap kegiatan pembelajaran dengan segenap kekuatan diri dan fasilitas yang dimiliki. Dengan kata lain, guru mampu melahirkan ide-ide “gila” dalam mengelola pembelajaran agar menjadi daya tarik dan motivasi bagi siswa untuk belajar. Seperti menerapkan berbagai model dan metode mengajar, menciptakan alat peraga atau media pembelajaran dan berbagai strategi atau pendekatan pembelajaran lainnya.

Kedua, guru memiliki bakat atau kelebihan yang unik. Keunikan yang dimaksud, bisa jadi hanya dia yang memiliki bakat tersebut, atau orang lain juga memiliki, tetapi dia mampu mengemas dan menyajikan sesuatu yang berbeda. Bakat ini meliputi berbagai bidang, baik seni, olahraga maupun keahlian khusus, seperti dalam penulisan, teknologi informasi, kemampuan komunikasi atau bahasa dan berbagai keterampilan yang dimiliki guru. Kelebihan bakat ini, tentu saja dikolaborasikan dalam proses pembelajaran, sehingga tercipta suasana belajar yang lebih hidup dan bergairah. Ketiga, guru memiliki kompetensi kependidikan yang mumpuni. Kompetensi ini meliputi kepribadian, sosial, pedagogik dan profesional. Dua kompetensi terakhir, barangkali semua guru telah memiliki bekal yang memadai, karena bagian dari persyaratan administratif untuk menjadi seorang guru. Sedangkan kompetensi kepribadian dan sosial lebih banyak ditempa di lapangan. Inilah yang sekarang menjadi sorotan publik, terkait beberapa kasus hukum yang melibatkan guru, mulai tindak kekerasan, asusila dan perilaku menyimpang lainnya.

Berpijak dari itu, guru idola adalah sosok pribadi yang jujur, santun, berakhlak mulia, berwibawa, tidak diskriminatif dan mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Maka, di dunia pendidikan juga mengenal adanya kode etik, yang berisi norma dan etika bagi guru dalam menjalankan keprofesiannya. Mulai dari hubungan dengan peserta didik, orangtua, masyarakat, sesama guru, organisasi profesi dan pemerintah. Semua itu harus menjadi komitmen dan tanggung jawab demi menjaga martabat seorang guru. Sudahkah Anda menjadi idola bagi anak-anak? (*)

(Penulis: Imam Subkhan, Humas Yayasan Lembaga Pendidikan Al Firdaus Solo, tulisan ini pernah dipublikasikan di harian Solopos)



0 Komentar untuk "Masihkah ada Guru Idola?"

Back To Top